Rabu, 22 Juni 2011

Latar belakang skripsi, part I


By: agus wahyu
Pengasapan merupakan proses pengolahan bahan makanan yang seringkali digunakan pada pengolahan daging, ikan, dan bahan makanan lainnya. Pengasapan ini berfungsi selain menurunkan kadar air juga mengembangkan warna, cita rasa yang spesifik dan menghambat mikrobia. Proses pengasapan secara tradisional dengan menggunakan asap pembakaran secara langsung mempunyai beberapa kelemahan seperti kualitas yang kurang konsisten, kesulitan pengendalian prosesnya, terdepositnya ter pada bahan makanan sehingga membahayakan kesehatan. Pengasapan juga menyebabkan pencemaran lingkungan serta memungkinkan bahaya kebakaran (Amriah, 2006).
Kelemahan-kelemahan di atas dapat diatasi dengan mengembangkan proses pengasapan menggunakan asap cair, yaitu campuran larutan dari dispersi uap asap kayu dalam air (Amriah, 2006). Asap Cair atau lebih dikenal sebagai liquid smoke merupakan suatu cairan hasil destilasi atau pengembunan dari uap hasil pembakaran bahan-bahan yang banyak mengandung karbon serta senyawa-senyawa lain (Nurhayati, 2000). Pembakaran bahan-bahan ini dilakukan melalui proses pirolisis. Pirolisis merupakan proses pengarangan dengan cara pembakaran tidak sempurna bahan-bahan yang mengandung karbon pada suhu tinggi. Kebanyakan proses pirolisis menggunakan reaktor bertutup yang terbuat dari baja, sehingga bahan tidak terjadi kontak langsung dengan oksigen. Umumnya proses pirolisis berlangsung pada suhu diatas 300 oC dalam waktu 4-7 jam (Paris et al, 2005). Asap dari proses pirolisis inilah yang kemudian ditampung untuk selanjutnya menjadi asap cair.
Asap cair pada proses ini diperoleh dengan cara mengkondensasi asap yang dihasilkan melalui cerobong pirolisis. Proses kondensasi asap menjadi asap cair sangat bermanfaat bagi perlindungan pencemaran udara yang ditimbulkan oleh proses tersebut. Selain itu, asap cair yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan baku pengawet, antioksidan, desinfektan, ataupun sebagai biopeptisida (Nurhayati, 2000).
Bahan baku yang banyak digunakan untuk pembuatan asap cair adalah kayu, bongkol kelapa sawit, ampas hasil penggergajian kayu, sekam padi, tempurung kelapa dan lain-lain. Komposisi asap cair telah diteliti oleh Pettet dan Lane pada tahun 1940, dimana diperoleh hampir 1000 macam senyawa kimia. Beberapa jenis senyawa yang telah diidentifikasi yaitu 85 fenolik, 45 karbonil, 35 asam, 11 furan, 15 alkohol dan ester, 13 lakton, dan 21 hidrokarbon alifatik ( Girard, 1992). Menurut Maga (1987), komposisi asap cair dari bahan kayu terdiri atas 11-92% air, 0,2-2,9% fenolik, 2,8-4,5% asam organik, dan 2,6-4,6% karbonil. Sedangkan Bratzer et al (1996) menyatakan komponen utama asap cair dari kayu adalah 24,6% karbonil, 39,9% asam karboksilat, dan 15,7% fenolik.
 Saat ini, asap cair dari tempurung kelapa lebih banyak diminati oleh konsumen karena memberikan cita rasa yang khas pada awetan bahan makanan dari pada asap cair yang dihasilkan bahan baku lainnya (Darmadji, 1997). Asap cair dari tempurung kelapa mengandung berbagai senyawa yang terbentuk akibat terjadinya pirolisis tiga komponen utamanya yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Lebih dari 400 senyawa kimia dalam asap cair tempurung kelapa telah diidentifikasi (Darmadji, 1997). Asap cair tempurung kelapa memiliki kemampuan untuk mengawetkan makanan dengan cepat. Hal ini terjadi karena asap cair dari tempurung kelapa memiliki komponen aktif senyawa fenolat yang memiliki kualitas lebih baik dibandingkan dengan bahan lainnya. Senyawa fenol berperan sebagai antioksidan dengan aksi mencegah proses oksidasi senyawa protein dan lemak sehingga proses pemecahan senyawa tersebut tidak terjadi dan memperpanjang masa simpan produk yang diasapkan. Masa simpan dari produk asapan ditentukan dari jumlah komponen penyusun asap cair.
Komponen-komponen penyusun asap cair ditemukan dalam jumlah yang bervariasi, tergantung dari jenis bahan, umur tanaman, dan kondisi pertumbuhan tanaman seperti iklim dan tanah. Perbedaan komponen ini kemungkinan akan ditemukan pula pada asap cair yang dihasilkan oleh pembuat arang di Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana-Bali. Para pembuat arang di Desa Yehembang telah melakukan pengembunan asap yang dihasilkan dari proses pembuatan arang batok kelapa maupun kayu dengan menggunakan alat sederhana (Tika, 2010) yang telah menghasilkan asap cair. Asap cair yang dihasilkan berwarna hitam pekat dan bercampur dengan tar. Setelah melewati proses destilasi, maka asap cair ini termasuk ke dalam golongan grade 3, yang harus ditreatmen lebih jauh jika ingin digunakan untuk pengawet makanan.
Asap cair grade 3 belum layak digunakan untuk pengawet makanan atau penambah cita rasa (flavours) karena bersifat toksik. Sifat toksik ini disebabkan oleh adanya kandungan senyawa hidrokarbon polisiklis aromatis (HPA) yang terbentuk selama proses pirolisis bahan pembuat asap cair. Salah satu senyawa HPA yang terbentuk adalah benzopyrene.
Benzopyrene adalah salah satu jenis HPA yang paling dihindari karena memiliki efek karsinogenik dan menyebabkan kanker (Yoshiaki, 2005). Benzopyrene juga telah dinyatakan sebagai senyawa karsinogenik untuk manusia dan binatang oleh IARC (International Agency for Research on Cancer) (IARC, 1983). Benzopyrene memiliki rumus molekul C20H12 dan berat molekul 252,3148. Senyawa ini memiliki titik didih 4950 C dan titik lebur 176,5o C sehingga berupa padatan pada suhu kamar. Benzopyrene tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organik seperti benzena dan sikloheksana (Daun, 1979). Kandungan benzopyrene yang diijinkan dalam produk makanan adalah sebesar 1 ppb (0,001 ppm) (IARC, 1983).
Untuk mengurangi kandungan senyawa benzopyrene, maka asap cair grade 3 harus dimurnikan terlebih dahulu. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk memurnikan asap cair agar dapat digunakan sebagai pengawet makanan. Salah satunya yaitu dengan cara adsorpsi dengan menggunakan adsorben. Adsorpsi merupakan proses dimana zat yang akan diserap hanya menempel pada bagian permukaan zat penyerap. Adsorben yang banyak digunakan dewasa ini adalah zeolit aktif dan arang aktif.
Dengan cara ini, maka kandungan benzopyrene yang masih terikat dalam tar yang ada pada asap cair grade 3 diharapkan akan berkurang dan berada di bawah ambang batas sehingga aman untuk dikonsumsi. Untuk mengetahui apakah asap cair yang telah dihasilkan dapat digunakan sebagai pengawet makanan, maka perlu dilakukan identifikasi komponen asap cair. Komponen asap cair yang telah dimurnikan akan diidentifikasi dengan menggunakan GC-MS.Mengingat pentingnya mengurangi senyawa berbahaya yang terdapat di dalam asap cair, maka perlu dilakukan penelitian mengenai uji pengaruh  penggunaan adsorben zeolit aktif serta arang aktif dalam proses pemisahan dan pemurnian senyawa berbahaya yang terkandung di dalam asap cair grade 3, sehingga aman untuk digunakan sebagai bahan pengawet makanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon dukungan dan Komentarnya...